0 comments

kata siapa syi'ah bukan aliran sesat lha asas hukumnya aja selain al-qur'an,selain itu mereka juga mencela para sahabat, lalu apakah yang demikian bukan termasuk aliran sesat??..........

1 comments

10 CARA MENGHADAPI JARINGAN ISLAM LIBERAL

Published on Rabu, 08 Februari 2012 in

1.  Memahami bahwa Liberalisme adalah kesesatan berpikir, bukan sebuah ritual, sekalipun demikian tetap berdampak pada perilaku pengusungnya. Jadi sudah seharusnya kita terus mencermati tulisan-tulisan JIL (Jaringan Islam Liberal), dari koran Jawa Pos pada kolom KIUK (Kajian Islam Utan Kayu), atau buku-buku terbitan JIL, El-KiS, Paramadina, internet, dll. Kemudian meletakkannya sebagai ‘musuh’ untuk diintai. Maka dengan ketelitian dan ketekunan, akan kita temui banyaknya upaya JIL dalam pemelesetan dan pembelotan kata-kata, pemahaman serta pembahasan materi yang menjurus kepada pengkaburan hingga pelecehan terhadap agama Islam

2. Membuka ulang tafsir ayat, atau makna hadits, dan fatawa ulama salaf sesuai dengan tema yang dipelesetkan. Biasanya kita temukan kalimat-kalimat yang dinukil oleh JIL ternyata hanya sepotong-sepotong, kemudian dipergunakan untuk memperkuat argumentasi dan pendapatnya, maka kita harus mengungkap ketidak-benaran itu dengan mengembalikannya kepada asli permasalahnya. Sering pula kita temui kelompok JIL menggunakan Tafsir Hermeneutika dalam tulisan-tulisannya. Tafsir Hermeneutika adalah metode penafsiran Al-Quran dengan menggunakan standar penafsiran Injil Bibel, antara lain menggunakan kritik historis (sejarah), artinya tidak ada seorangpun di dunia ini yang kebal terhadap kritik, dan menganggap bahwa selagi penafsiran terhadap kitab suci masih dilakukan oleh manusia, termasuk oleh Nabi Muhammad SAW, maka sangat mungkin terjadi kesalahan, karena menurut mereka adanya keterbatasan akal manusia. Sehingga mereka meyakini bahwa tidak satupun tafsir Al-Quran di dunia ini yang mutlak kebenarannya. Dengan demikain, menurut mereka, siapapun orangnya, selagi dalam konteks sebagai manusia, berhak menfsirkan Al-Quran sesuai dengan pemahaman masing-mansing.

3. Sebaiknya dalam menghadapi JIL, kita lebih mengutamakan nash-nash qath’i dari Al-Quran dan Hadits-hadits sharih dengan menerangkan ashbabun nuzul/wurud. Penguraian semacam itu termasuk paling jitu, karena kita mampu menerangkan kepada umat islam duduk permasalahan yang sesungguhnya, dan secara otomatis dapat menelanjangi pemikiran sesat kelompok JIL

4. Kita hadapkan pemikiran JIL dengan pemikiran ulama salaf, dengan rujukan Al-Quran, hadits, serta realita sejarah, dan kita tawarkan kepada umat: Apakah di dalam memahami ilmu agama, kita memlilh pemahaman ulama salaf, misalnya Imam Syafii, yang telah berabad-abad dikenal dunia Islam, atau memilih model pemahaman JIL, yang baru muncul dengan referensi pemahaman Barat atau tafsir Hermeneutika?

5. Kita ungkap bagaimana keuntungan barat/kafir terhadap tema-tema yang dimunculkan oleh JIL ke permukaan, misalnya dampak Fiqih Lintas Agama, adalah memuluskan program pembauran dan pemurtadan umat Islam secara pelan-pelan. Untk mengasah kejelian, tentunya kita harus banyak membaca atau mencari informasi tentang dunia pergerakan JIL, sehingga saat menghadapi mereka, kita tahu dengan pasti atas kesesatan pemikirannya.

6. Kita rajin berkomunikasi dengan tokoh-tokoh yang berseberangan dengan JIL, sekalipun bukan se-ormas dengan kita. Karena jalinan dengan tokoh-tokoh ini dapat memperkuat lini-lini perjuangan, dalam menghadang lajunya liberalisme. Kita juga harus selalu mewaspadai besarnya pengaruh liberalisme yang kini telah menyeluruh di hampir setiap bidang dan semua kalangan. Membangun jaringan sesama tokoh-tokoh anti liberalism, adalah sangat penting untuk memperkaya informasi, sehingga dapat menjadikan JIL sebagai musuh bersama. Tokoh-tokoh anti JIL yang saat ini terhitung produktif dalam menerbitkan buku-buku counter terhadap JIL antara klain : 1). Adian Husaini, MA. 2). Henry salahuddin, MA. 3). Adnin Armas, MA. 4). Nu’im Hidayat. 5). Dr. Daud Rasyid, MA. Dan lain sebagainya.

7. Kita sampaikan pemahaman kita kepada umat tentang kesesatan JIL, melalui tulisan, ceramah, mimbar Jumat, dialog antar teman, dialog terbuka, sampai berhadapan langsung dengan tokoh-tokoh JIL. Praktek yang sering terjadi, saat kita serius melawan mereka untuk dialog terbuka, maka di lapangan mayoritas umat Islam lebih condong kepada aqidah ulama salaf, dibanding mengikuti pemikiran sesat JIL.

8. Apabila mengadakan dialog langsung dan terbuka dengan tokoh-tokoh JIL, yang paling efektif adalah membawa satu tema dari tulisan mereka, dan kita terangkan kesesatan-kesesa tan tulisan itu. Hal ini perlu, dikarenakan umumnya mereka pandai bersilat lidah, dan kita akan diseret kepada permasalahan lain untuk mengelabui dan mencari simpati dari kita dan simpati hadirin, yang pada akhirnya akan mereka arahkan kepada situasi ‘bersepakat’ untuk menerima pemikiran-pemikiran mereka. Tapi dengan bukti kesesatan yang ada pada tulisan mereka, maka kita tidak terjebak dengan permainannya.

9. Bagi yang mampu menulis dan ada kesempatan, maka dapat menuangkan ‘pemikiran’ melawan liberalisme di media cetak/mansyurat/SMS/dll. Hal ini sangat membantu umat untuk kembali kepada jalan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang benar. Bagi para dai mimbar, pengasuh majelis taklim, pengasuh pesantren, dan pendidikan Islam lainnya, sebisa mungkin saat membahas tema bahaya liberalisme, dapat merekamnya lewat apa saja dan disebarkan kepada masyarakat. Bagi para pemangku pesantern, sebaiknya terus membekali para santrinya untuk memehami bahaya liberalisme, minimal mengisi perpustakaan pesantren dengan buku-buku kontra JIL. Hal ini sangat diperlukan karena banyak terjadi di kalangan alumni pondok pesantren yang justru terjerumus dalam pemikiran liberalisne, karena ketidaksiapan mental saat tamat dari pendidikan di pesantren. Kendala yang akan kita hadapi saat menyampaikan counter terhadap pemikiran JIL, umumnya masyarakat awam yang belum mengetahui benar-benar ‘BAHAYA BESAR’ yang akan ditimbulkan oleh liberalisme, masyarakat akan mereaksi negatif terhadap misi dan dakwah kita, tapi dengan kegigihan dan keihlasan dalam mengusung kebenaran melawan liberalisme, lambat laun masyarakat yang semakin ‘cerdas’ dan akan ikut berjuang bersama kita, sesuai kemampuan dan kesempatan masing-masing.

10. Rajin merangkul aparat setempat dengan memberi pemahaman kepada mereka tentang bahaya kesesatan JIL. Jika aparat sudah satu baris dengan kita, suatu saat kita membutuhkan langkah aparat, maka tinggal berkoordinasi. Sebagai contoh adalah kerjasama kita dengan aparat saat mencekal dan memulangkan dari Air port Juanda, pada akhir tahun 2007, seorang tokoh liberal asal Mesir, Doktor Nasr Hamid Abu Zayd, penghina dan penghujat Al-Quran, yang akan tampil seminar di UNISMA-Malang. Tulisan-tulisan Nasr Hamid Abu Zayd juga banyak menghujat Imam Syafii, Imam Hambali, dan para ulama salaf lainnya. Yang memperihatinkan kita, bahwa tulisan-tulisan Nasr Hamid Abu Zayd yang berbahasa arab sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan digandrungi oleh penganut Liberalisme di kampus-kampus berbasis Islam tanpa kita mampu mencegahnya. Lantaran di Negara kita menganut kebebasan berekspresi, berkarya dan melindungi hak asasi manusia.
(aktivis islam)
     sesungguhnya keberadaan atau munculnya faham liberalisme bukanlah menimbulkan rasa toleran antar agama sebagaimana yang orang liberal katakan,akan tetapi justru menimbulkan perpecahan antar agama karena ideology mereka yang selalu mencela dan merusak terutama mencela agama islam baik secara ideology maupun tekstual.

0 comments

Tanya Jawab Masalah Fiqih

Published on Minggu, 15 Januari 2012 in

Mengapa para ulama memvonis sebuah masalah dengan cara yang berbeda-beda ?
Jawab:
Mengenai pengambilan istimbath-istimbath hukum para ulama, memang berbeda-beda, baik para ulama salaf (dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabiin ) maupun ulama khalaf (dari generasi setelah mereka sampai sekarang ), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut (baik intern maupun ekstern ) adalah sebagai berikut:
1. Kebanyakan nash baik dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah tidak bersifat qoth’i dalalah (penunjukan yang jelas) terhadap  maksud nash tersebut, melainkan hanya dzanni, mungkin saja suatu lafadz mempunyai beberapa arti atau kemungkinan sehingga penggambilan istimbath pun berbeda-beda sesuai dengan yang difahami.
2. As-Sunnah belum dibukukan, hal ini terjadi pada periode sahabat, tabi’in dan awal periode tabi’ut-tabi’in. Seorang mufti yang belum mendengar hadist tentang suatu masalah mungkin akan sedikit bertentangan dengan mufti yang sampai kepadanya hadist tentang masalah tersebut.
3. Lingkungan hidup dimana para ulama tinggal berbeda-beda, sehingga istimbath hukum yang diambil pun berbeda, disamping itu kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat berbeda-beda, sedangkan mereka memahami bahwa 'illat (alasan) hukum atau tasyri’ ialah merealisir kemashlahatan bagi umat, contoh yang paling mudah ialah mengenai zakat fithrah antara Indonesia dan Timur  Tengah.
4. Perbedaan mengenai penetapan sebagian sumber-sumber perundangan (pada zaman tabi’ut tabi’in pertengahan abad 4 H) diantaranya:
               A. Cara menguatkan As-Sunnah dan pertimbangan dasar yang digunakan untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainya, sebagai contoh, para mujtahid Iraq (Abu Hanifah dan kawan-kawannya ) hanya berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan masyhurah saja serta sunnah-sunnah yang diriwayatkan orang-orang terpercaya dikalangan fuqaha’, berbeda dengan mujtahid Madinah yang hanya menerima hadist yang disetujui ulama Madinah serta menolak hadist ahad yang bertentangan dengan amalan mereka. Sebagian yang lain ada yang menerima hadist mursal dan ada yang tidak.
               
               B. Kedudukan fatwa sahabat, ada yang menerimanya  secara utuh dan tidak boleh menyelisihinya dan ada yang memperbolehkan untuk meninggalkannya.
5. Perbedaan mengenai pengambilan hukum dan perundang- undangan, ada yang berdasarkan pada hadist dan ada yang berdasarkan pada ra’yu (iraq). Hal-hal yang mempengaruhi diantarannya:
a. Hadist-hadist nabi dan para sahabat banyak terdapat di Madinah tidak seperti  di Iraq.
b. Iraq merupakan pusat pergolakan politik sehingga banyak terjadi fitnah.
c. Lingkungan Irak dan Hijaz berbeda, dan ini mempengaruhi pendapat Abu Hanifah dan fuqaha’ Hijaz
.
    
     6. Perbedaan mengenai prinsip-prinsip bahasa, sebagaimana diketahui bahwa Bahasa Arab merupakan bahasa yang kaya, sehingga para ulama berbeda pendapat sesuai yang mereka pahami dari gaya bahasa suatu nash.
      7. Kecerdasan individual dan cara pandang, hal ini juga mempengaruhi akan fatwa yang dikeluarkan.
      8.  Ketaqwaan, seorang ulama yang terlepas dari nafsu duniawi, fanatik madzhab, dan sifat-sifat tercela lainnya tentu dia akan membela Ad-Dien dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa terkotori  nafsu bejat lainnya, hal ini jarang kita dapati pada zaman sekarang, sehingga banyak ulama su’ ( jelek/jahat ) yang  mengetahui sunnah nabinya namun berfatwa menyelisihi nabinya, semacam pembolehan bagi kaum muslimin Amerika bergabung dengan tentaranya menyerang Iraq dan Afghan dengan alasan loyalitas negara lebih utama dari loyalitas agama yang diserukan oleh ulama su’ zaman sekarang yang predikatnya sudah mendunia..
      9. Masuknya ilmu asing, ilmu-ilmu yang bukan berasal dari Islam paling sedikit mempengaruhi para ulama dalam mengambil suatu keputusan semacam filsafat, ilmu kalam dan lainnya yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke Arab pada kekhalifahan terdahulu.
والله أعلم بالصواب
مراجع : خلاصة التاريخ التشريع 
           بداية المجتهد ونهاية المقتصد ج1 ص 7-44
Kenapa kita memanggil Allah dengan dhamir هو , padahal dhamir tersebut digunakan untuk arti mudzakkar ? 
Jawab:
Aqidah merupakan perkara tauqifiyyah, ia tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil syar’i, tidak ada medan ijtihad dan berpendapat di dalamnya. Oleh karenanya apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya bagi diri-NYA maka kitapun menetapkannya. Berkaitan dengan pertanyaan diatas, kami katakan:”Tidaklah pertanyaan itu terlontar kecuali dari orang yang lemah keimanannya atau orang yang ingin mengobok-obok dan menimbulkan keraguan dikalangan kaum muslimin serta mengaburkan keyakinan mereka sehingga mereka berfikir macam-macam tentang-NYA, atau pertanyaan itu terlontar dari orang yang memang tidak tahu dan belum tahu tentang perkara ini atau mereka yang masih minim ilmunya.” Bagi yang terakhir ini maka kami maklumi dan kami jawab –insya Allah- sebagaimana berikut: والله المستعان 
1. Allah telah menetapkan bagi diri-NYA dengan dhamir هو untuk menunjukkan dzat-NYA dalam keadaan ghaib, juga dengan dhamir ك atau انت bagi dzat-NYA dalam keadaan hadir, Dia Jalla Jalaluhu, berfirman: 
وهو  الله في السموات وفي الأرض يعلم سركم وجهركم ويعلم ما تكسبون
 Dan Dialah Alloh (yang disembah) dilangit maupun dibumi,Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yamg kamu nyatakan dan mengetahui (pula) apa yang kamu kerjakan”(QS.Al-an’am:3)
Juga firman-Nya mengenai do’a hamba-Nya yang terpilih Isa bin Maryam:
إن تعذبهم فإنهم عبادك وإن تغفرلهم فإنك أنت العزيز الحكيم
  ”Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”(QS.Al Maidah:118).
Perhatikanlah bagaimana Allah menetapkan dhomirهو ,  ك dan أنت   dalam kedua ayat ini dalam firman-Nya (وهو الله ) dan (أنت العزيز الحكيم ) serta masih banyak ayat-ayat yang lainnya yang berkaitan dengan hal ini.
2. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengkhitobi Rasul-Nya dan umat-Nya dengan bahasa yang mudah difahami, Sebagaimana firman-Nya:
 ولقد يسرنا القران للذكر فهل من مدكر
  ”Dan sungguh telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”(QS.Al-Qomar : 17 )
Juga firman-Nya:
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم
 ”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka.”(QS.Ibrahim : 4 ).
3. Allah Ta’ala dalam menjelaskan keberadaan Diri-Nya dengan Kemaha Esaan-Nya kepada makhluk-Nya tentu dengan bahasa yang mudah difahami oleh mereka, semisal ”هو, ك, انت” ketiga dhamir tadi menunjukkan keberadaan-Nya dan keEsaan-Nya sehingga orang awam pun tahu artinya. Allah tidak mengkhitabi makhluk-Nya dengan bahasa yang sulit difahami oleh mereka sehingga mereka pun sulit untuk memahaminya dan menerimanya sehingga sulit pula untuk tunduk beribadah kepada-Nya, mengapa demikian?...Karena akal manusia tidak sanggup memikirkan tentang Dzat-Nya, sehingga Allah memudahkan untuk memahami keberadaan-Nya.
4. Mengapa Allah menetapkan bagi Diri-Nya dengan “هو,ك,انت” bukan dengan “هي,ك,انت” ?. Jawabannya: karena manusia tidak mampu memikirkan Dzat-Nya maka Allah memudahkan makhluk-Nya untuk memahami Dzat-Nya  dengan khitab-khitab yang ada, diantaranya dhamir-dhamir tadi bukan berarti bahwa Allah itu berjenis kelamin laki-laki -Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan- karena ketiga dhamir tersebut digunakan untuk laki-laki, tapi karena keterbatasan akal manusialah, mengapa?  Karena apabila Allah disifati dengan bentuk dhamir muannast maka akan tergambar dalam benak manusia bahwa Dia itu lemah, karena perempuan yang senantiasa dilekati oleh dhamir muannast bersifat lemah, baik fisiknya maupun kejiwaanya, berbeda dengan pemakaian dhamir mudzakkar, tergambar dari dhamir-dhamir tersebut, keMaha Perkasaan Allah, Maha Berkehendak dan sifat-sifat yang mulia yang lainnya, hal ini sebagaimana yang kami katakan karena keterbatasan akal manusia sehingga tidak ada lagi bahasa yang mudah difahami mereka yang menunjukkan keluhuran Dzat-Nya kecuali dengan dhamir tadi bukan berarti Dia itu laki-laki, justru Dialah yang menciptakan laki-laki dan perempuan, karena bila Dia disifati dengan laki-laki maka konsekwensinya menunjukkan bahwa Dia mempunyai kekurangan semisal membutuhkan lawan jenis, padahal Allah tidak mempunyai kekurangan sedikitpun Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
5. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kita wajib menerima apa yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya dalam Al Quran dan As Sunnah tentang diri-Nya tanpa ta’thil, tahrif, tasybih dan takyif, maka apa yang tidak diberitakan oleh keduanya tentang Dzat Allah tidak boleh kita tanyakan, karena apabila ditanyakan akal manusia tidak mampu memikirkan Dzat-Nya dan menjawab pertanyaan tersebut karena tidak adanya keterangan yang jelas dalam Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya sebagai konsekuensinya timbullah keraguan dalam diri hamba karena tidak mendapat kepuasan akan jawaban dari pertanyaannya. Apabila ada pertanyaan semacam ini maka jawaban kami sama dengan jawaban Imam Malik rahimahullah tatkala ditanya tentang istiwa’ bahwa pertanyaan ini adalah bid’ah karena para salaf tidak pernah bertanya seperti pertanyaan ini atau yang semisal, Imam Malik ketika menjawab pertanyaan tentang kaifiyyah ( tatacara) istiwa’ ( bersemayam )-Nya Allah ke atas ‘arsy beliau berkata : 
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
   “ Istiwa ‘ ( bersemayam ) adalah perkara yang ma’lum ( diketahui) dan tata caranya tidak diketahui sedangkan beriman kepadanya wajib dan bertanya  tentangnya adalah bid’ah. “

6. Qa'idah nahwu mengatakan bahwa dhomir yang digunakan untuk sesuatu yang tidak diketahui dzatnya adalah dhomir untuk mudzakkar , karena Allah Rabbul ‘alamin adalah Dzat yang ghaib dan tidak diketahui ( karena tidak pernah melihatnya ) maka digunakanlah dhomir untuk mudzakkar
Demikianlah jawaban dari pertanyaan ini perlu diperhatikan dan senantiasa diingat bahwa kewajiban kita adalah menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya tentang Dzat-Nya dan tidak menanyakan sesuatu yang tidak pernah ditanyakan oleh para salaf  (dalam masalah akidah ). 
والله أعلم وهو علي كل شئ قدير
مراجع : القران الكريم

Bolehkah menyebut nama Allah dengan God ?
Jawab 
Bagi seorang muslim yang muwahid, dan masih memiliki ghirah (kecemburuan) membela agamanya tentu tidak akan menamakan Rabb-nya dengan nama ini, karena hal ini secara tidak langsung membenarkan keyakinan-keyakinan orang di luar Islam bahwasanya mereka pada hakekatnya menyembah Allah, karena God berarti tuhan, Allah, kepala dewa, peri, dan lain-lain, berarti jika umat hindu menyebut dewa-dewa mereka dengan God, budha menyebut si darta ghautama dengan God, Majusi menyebut  api dengan God, kaum Zoroaster menganggap bintang dan zeus sebagai God dan isme-isme lainnya berarti mereka juga menyembah Allah (karena arti God di atas), ini adalah keyakinan yang batil karena pada hakekatnya mereka yang di luar Islam bukan menyembah Allah tapi menyembah berhala-berhala berdasarkan hawa nafsu mereka, maka tidak mungkin menyamakan Allah dengan ilah-ilah yang batil. Allah swt berfirman;
.... قال تعالى : اعبدوا الله ما لكم من اله غيره
‘ Sembahlah oleh kalian Allah tidaklah ada bagi kalian ilah yang lain selainNya.’(QS.Al A’raf : 59) 
Apalagi kita sudah mempunyai nama bagi Ilah kita yang haq yang langsung dijelaskan oleh Dia, melalui lisan para Rasul-Nya, yaitu Allah, maka buat apa menamakan Dia dengan nama yang tidak di syariatkan-Nya, nama Allah juga berdasarkan suata riwayat bahwasanya Allah adalah isim a’dham ( isim yang paling mulia ) karena kepadanya disandarkan nama-namaNya yang lain seperti Allahu Arrahman, Allahu  Arrahim dan lain-lain. Lagi pula perkara tauhid asma’ wa shifat adalah perkara tauqifiyah artinya harus ditetapkan berdasarkan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka apa yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, kemudian apa yang Rasulullah tetapkan dalam nama-nama-Nya kitapun menetapkanya. Dan juga jika kita menyebut Allah dengan nama God ada unsure penyerupaan dengan mereka yang non muslim untuk memudarkan makna illah padahal kita diperintahkan untuk menyelisihi mereka Rasulullah bersabda :
من تشبه بقوم فهو منهم (رواه احمد )
 ‘ Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka.’ (HR.Ahmad ) 
Juga sabda beliau :
خالفوا المشركين
Selisihilah orang musyrik tersebut.” (HR. Bukhari )
Kesimpulan :
Tidak layak bagi seorang muslim menyebut Ilah mereka yang haq dengan sebutan God / Tuhan, karena penyebutan tersebut secara tidak langsung membenarkan isme-isme yang batil dan penyamaan  / penyerupaan antara Allah dengan alihah ( tuhan-tuhan ) yang batil. Cukuplah baginya apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, karena tidak ada yang mengetahui tentang diri-Nya kecuali Ia sendiri dan tidak ada yang mengetahui tentang-Nya setelah Dia kecuali Rasul-Nya sholallahu ‘alaihi wasallam
والله أعلم بالصواب
مراجع : منهاج المسلم ص 6-15
           فتح المجيد شرح كتب التوحيد ص 17 
           عقيدة التوحيد ص 149  
Apa hikmah penciptaan jin dan manusia ?
Jawab :
Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, kami ingin mengingatkan tentang kaidah umum akan apa yang diciptakan Allah dan tentang apa yang disyari’atkan oleh-Nya. Kaidah ini diambil dari firman-Nya yang berbunyi  :
وهو العليم الحكيم
“ Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS. At Tahrim : 2 )
Dan firman-Nya :
 إن الله كان عليما حكيما
“ Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” ( QS . An Nisa : 24 )
Dan ayat–ayat lain yang menunjukkan hikmah bagi Allah ‘Azza wa Jalla dalam apa–apa yang Dia syari’atkan. Maksudnya dalam hukum yang kauniyyah dan syar’iyyah, sesungguhnya tidak ada satupun yang diciptakan Allah kecuali dia mempunyai hikmah, sama saja dalam pengadaan ataupun peniadaanya. Dan tidak ada satupun yang disyari’atkan oleh Allah kecuali untuk suatu hikmah, baik itu dalam pewajiban-Nya, pengharaman-Nya atau pembolehan-Nya. Akan tetapi hikmah yang dikandung dalam hukum-Nya yang kauni atau syar’i kadang–kadang kita dapat ketahui dan tidak bisa diketahui, dan kadang–kadang dapat diketahui oleh sebagian orang dan sebagian yang lainnya tidak tahu sesuai dengan ilmu dan pemahaman yang  dikaruniakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada mereka. Maka jika hal ini sudah jelas, selanjutnya kami katakan bahwasanya Allah menciptakan jin dan manusia mempunyai hikmah yang agung dan tujuan yang terpuji yaitu beribadah kepada-Nya. Allah berfirman :   
  
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
“ Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” ( QS. Adz Dzariyat : 59 )
Dan firman-Nya : 
أيحسب الإنسان أن يترك سدى
“ Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja ( tanpa pertanggung jawaban ).” ( QS . Al Qiyamah : 36 )
Inilah hikmah dari penciptaan jin dan manusia. Oleh karena itu barang siapa yang durhaka dan menyombongkan diri terhadap Rabb-nya dari kewajiban ibadah kepada-Nya, maka berarti ia telah melanggar hikmah ini.
والله أعلم بالصواب

Apakah orang tidur dan bermimpi menghina Allah dan utusan-Nya itu  bisa disebut istihza’ ?
Jawab :
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam  telah memberikan petunjuk kepada umatnya dalam hal mimpi. Beliau saw bersabda : 
إذا رأى أحدكم رؤيا يحبها فإنما هى من الله تعالى , فليحمد الله عليها فليحدث بها. وفى رواية : فلا يحدث لها إلا من يحب. وإذا رأى غير ذلك ممايكره فإنما من الشيطان فليستعذ من شرها ولا يذكرها لأحد فإنها لاتضره  متفق عليه-
 “ Apabila salah seorang di antara kamu bermimpi dengan mimpi yang disukainya, maka mimpi itu dari Alah Ta’ala. Oleh karena itu hendaklah ia memuji kepada Allah dan menceritakan kepada orang lain. Dan dalam riwayat yang lain : janganlah ia menceritakan kepada orang lain kecuali kepada orang-orang yang disukainya. Dan apabila ia bermimpi dengan mimpi yang tidak disukainya, maka sesungguhnya mimpi itu dari syaitan, maka hendaklah ia berlindung dari kejelekan mimpinya dan janganlah ia menceritakan mimpinya itu kepada seorangpun juga. Karena mimpi itu tidak akan membahayakannya dirinya.” (Bukhari dan Muslim)
Beliau juga bersabda : 
الرؤايا الصالحة من الله والحلم من الشيطان فمن رأى شيئا يكرهه فلينفث عن شماله ثلاثة وليتعوذ من الشيطان فإنها لا نضره  متفق عليه-
“Mimpi yang bagus itu dari Allah dan mimpi yang buruk itu dari syaitan, oleh karena itu barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia meniup ( dengan sedikit air ludah ) kesebelah kirinya tiga kali dan berlindung diri dari syaitan (berta’awwudz ), sesungguhnya impian itu tidak akan membahayakanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda :
وليتحول عن جنبه الذى كان  عليه- رواه مسلم-
 “Dan hendaknya pula ia membalikkan diri dari posisi tidurnya yang semula.” (HR.Muslim )
Dari hadits-hadits di atas dapat diketahui adab-adab yang Islam ajarkan ketika bermimpi yaitu : 
Ø Jika mimpinya bagus atau baik maka disunnahkan memuji Allah Azza Wa Jalla yang telah memberinya nikmat mimpi tersebut dan menceritakannya kepada orang lain terutama orang yang bisa dipercaya dan disukainya.
Ø Jika mimpinya buruk maka hendaklah ia meludah kesebelah kiri dan berta’awudz dari syaithan yang terkutuk karena hakikatnya mimpi tersebut merupakan gangguan darinya. Kemudian membalikkan badan dari posisi pertama ia tidur jika hendak melanjutkan tidurnya.
Dalam hadits pertama di atas Rasulullah saw bersabda : فليستعذ من شرها maka hendaklah ia berlindung diri dari kejelekan mimpinya. Mengapa Beliau menyuruh berlindung dari kejelekan mimpi ( disamping dari syaithan ) ? ini merupakan salah satu hikmah Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena mimpi ada yamg berupa pengkristalisasian apa yang ada dalam otak sehingga terbawa ke alam tidur, baik berupa sesuatu yang menyenangkan atau yang buruk semisal orang yang sedang cemas dan khawatir atau ketakutan. Terkadang kecemasan, kekhawatiran dan ketakutan tersebut masuk ke alam bawah sadarnya, Sehingga ia bermimpi buruk karena kuatnya pengkristalisasian “ data-data “ yang masuk ke dalam otak, begitu juga dengan orang terlampau bahagia atau mengharapkan sesuatu yang membahagiakan. Terkadang ia bermimpi yang bagus karena kuatnya data-data yang masuk kedalam otak, kemudian memasuki alam bawah sadar ( berdasarkan teori umum tentu semua ini atas kehendak-Nya semata ) oleh karena itu Rasulullah menyuruh kita untuk berlindung diri dari mimpi kita yang buruk alias dia menyuruh kita berlindung diri dari kejelekan diri kita, karena boleh jadi mimpi buruk tersebut berasal dari tingkah laku kita sehingga kita sadar dan bermuhasabah mengenai kesehariaan kita. Subhanallah, itulah diantara sifat fatanahnya Rasul saw.
Berkaitan dengan pertayaan di atas maka seyogyanya bagi yang bermimpi atau orang lain yang bermimpi seperti mimpinya di atas bermuhasabah diri setelah melakukan amalan sunnah di atas mengenai mimpi buruk. Mengapa mimpi tersebut bisa terjadi ? Apakah mimpi tersebut murni dari syaithan atau muncul dari diri kita mungkin kita kecewa dengan beberapa hal sehingga kita menyalahkan takdir yang akhirnya marah atau benci kepada Dzat yang mentakdirkan sesuatu yaitu Allah, atau perkara yang semisal. Jika mimpi tersebut murni dari syaithan maka amalan tadi di atas cukup untuk mencegah bahaya mimpi tersebut sebagaimana sabda-Nya : 
فإنها لاتضره
“ Sesungguhnya mimpi tersebut tidak membahayakannya.” 
Namun jika mimpi tersebut muncul dari diri kita karena kuatnya kebenciaan kita dan  perasaan menyalahkan takdir- akhirnya Allah juga disalahkan-  sehingga terbawa ke alam bawah sadar maka hendaklah bertaubat karena perbuatan di atas merupakan kekafiran.
Lalu apakah termasuk istihza’ (  mimpi menghina Allah dan Rasul Nya ) ?. Hal tersebut bukanlah istihza’, karena istihza’ dihukumi ketika si pelaku sadar atau terjaga -baik dilakukan secara  sengaja atau main-main – bukan dalam kondisi tidur apalagi mimpi. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:
رفع القلم عن ثلاث : عن النائم حتي يستيقظ وعن  الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق  رواه أبو داود و النسائ- 
 “ Qalam / pena ( taklif / pembebanan ) diangkat dari tiga orang : orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi basah dan orang gila sehingga ia sadar ( dari gilanya ).” ( HR. Abu Dawud dan An Nasai ).
بالصواب    والله أعلم
مراجع :- رياض الصالحين 
Apa hukum mengoleksi barang keramat ?
Jawab :
 Kesyirikan merupakan perkara yang sangat berbahaya, karenanya Allah mengutus para rasul untuk mengingatkan hamba- hamba-Nya agar menjauhinya, Allah berfirman :
ولقد بعثنا فى كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت
“ Dan sungguh kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Para ulama banyak menjelaskan tentang arti thaghut ini, salah satunya adalah  segala sesuatu yang disembah selain Allah. Dan dipersyaratkan bagi yang berakal, dia yang disembah ridha sehingga tidak termasuk Nabi Isa dan para Malaikat yang disembah.
Berkaitan dengan mengoleksi barang-barang keramat maka hukumnya tidak boleh dan bahkan haram karena bisa menyebabkan kesyirikan dengan dikeramatkannya barang-barang tersebut, meski orang yang mengoleksinya bisa menjaga diri dari kesyirikan tapi tidak menutup kemungkinan generasi setelahnya akan mengagung-agungkannya sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Qaidah fiqih mengatakan :
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
“ Mencegah kerusakan itu lebih didahulukan dari pada mengambil kemashalatan.”
 Oleh karena itu, mencegah kemusyrikan yang nantinya akan timbul dengan mengoleksi barang-barang keramat tersebut wajib didahulukan dari pada mengikuti keinginan pribadi berupa hobi mengumpul barang-barang itu padahal ini bukanlah mashalat. Justru yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah menghancurkan benda-benda keramat tersebut supaya kesyirikan tidak muncul kembali akibat keberadaan benda-benda itu. 
والله اعلم
              مراجع : القران الكريم
Apakah seseorang yang beragama Yahudi bisa masuk Islam ?
Jawab:
Orang yang menganut agama selain Islam, apapun agamanya bisa masuk Islam, karena pada hakikatnya mereka dilahirkan dalam keadaan bertauhid. Allah berfirman :
وإذ أخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم علي أنفسهم ألست بربكم قالوا بلي شهدنا أن تقولوا يوم القيامة إنا كنا عن هذا غافلون
Dan (ingatlah) ketika Robbmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman) “Bukankah aku ini Robb-mu?” mereka menjawab “betul (Engkau Robb kami) kami bersaksi “(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “sesungguhmya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al A’raf: 172)
Juga sabdanya shollallahu ‘alaihi wasallam :
كل مولود يولد علي الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitroh (bertauhid ) maka kedua orang tuanya yang meyahudikanya atau menasronikannya atau memajusikanya. (HR. Bukhari )
Juga yang namanya hidayatut taufiq di tangan Allah, diberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki tidak terbatas pada suatu agama tertentu, Dia berfirman :
إن تحرص علي هداهم فإن الله لايهدي من يضل وما لهم من ناصرين
Jika engkau (Wahai Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Alloh tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan mereka tidak mempunyai penolong. “(QS An-Nahl:37)
 Juga firman-Nya :
يهدي الله لنوره من يشاء
 “Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur:35).
Dan banyak ayat lainnya yang menerangkan bahwasanya Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, baik dia nasrani, yahudi, budha, hindu dll.
Sebagaimana sejarah telah mencatat bahwa banyak kaum yang di luar Islam, dan berbagai macam aliran atau isme atau agama yang mendapatkan hidayah dari-Nya dan menjadi pembelanya, seperti Abdullah bin Salam ( pada zaman Rasulullah ) dan ukhti Jamila pada zaman sekarang yang dulunya seorang yahudi kemudian masuk Islam dan berjanji akan melawan pemikiran-pemikiran barat.
والله أعلم بالصواب
مراجع : كتاب التوحيد ص 149 
                    
Apa hukum bagi orang yang bersyahadat tapi tidak memvonis kafir orang kafir ?
Jawab : 
Berkaitan dengan memvonis kafir orang kafir, bagi seorang muslim wajib memvonis kafir orang kafir, dan mengatakan kepada mereka dengan terang – terangan “ hai kafir …! “ baik mereka dari golongan nashroni, yahudi , budha dan isme- iame yang lainnya yang bukan dari golongan kaum muslimin ( non muslim), justru apabila seorang muslim tidak mengkafirkan orang kafir atau meredhoi kekafiran mereka, maka dia (muslim) kafir berdasarkan ijma’, syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab berkata: “Barang siapa yang tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yang masih ragu terhadap kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka, ia itu kafir”.
Maka bagi kita jangan sampai ada keraguan dalam memfonis orang kafir. Berbeda halnya dengan memfonis kafir seorang muslim, maka ia tidak boleh sembarangan, pengkafiran itu harus terpenuhi syarat-syaratnya, bahkan syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz mengatakan bahwa yang memfonis kafir seorang muslim  adalah para ulama yang lebih tahu mengenai masalah syariat, bukannya orang awam dari kaum muslimin, karena kalau orang awam bebas mengkafirkan orang lain padahal ia tidak mempunyai atau sedikit mempunyai ilmu syar’i maka madzhab khawarij yang mengkafirkan setiap pelaku dosa besar akan merebak . Beliau Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz berkata mengenai qoidah pengkafiran ” Dalam hukum –hukum dunia yang berlaku di atas yang lahir atau yang nampak, seorang dihukumi kafir (dikafirkan) karena ucapan yang mengkafirkan atau perbuatan yang mengkafirkan, yang mana perkataan atau perbuatan itu telah tetap adanya pada orang tersebut menurut syari’at, apabila syarat – syarat hukumnya terpenuhi tidak ada penghalang –penghalang hukum pada dirinya. Lalu seorang ‘alim yang pakar hukum syariat mengenakan vonis hukum pada orang itu.” 
Mengenai penjelasan dari qo’idah ini bisa dibuka dalam kitab al jami’ fi tholabil ‘ilmi asy syarif . Adapun mengenai syarat-syarat yang dimaksud adalah : 
1. Adanya dalil–dalil syar’i yang menyatakan kafirnya orang yang berbuat atau berkata demikian dan demikian.
2. Ucapan dan amalan yang dilakukan mesti perbuatan yang jelas menunjukkan kekufuran.
3. Tidak ada penghalang–penghalang hukum yang menghalanginya dihukumi kafir, penjelasan mengenai penjelasan semuanya ini bisa dilihat dalam kitab tersebut di atas.
Dalil yang melarang kita mengkafirkan orang lain ( muslim ) terdapat dalam hadits :
عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلي الله علبه وسلم إذا قال الرجل لأخيه يا كافر, فقد باء بها أحدهما, فإن كان كما قال وإلا رجعت عليه ( متفق عليه )
 “ Dari Ibnu Umar ia berkata :’ Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda : “ Apabila ada seorang muslim berkata kepada saudaranya : ‘ hai kafir ‘ maka salah seorang dari kedua orang itu menjadi kafir, apabila orang yang dikatakan itu memang kafir ( maka dia kafir ), tetapi jika yang dikatakan itu tidak kafir, maka ucapan itu kembali kepada yang mengucapkan. “ ( Muttafaq ‘Alaih ).
والله أعلم بالصواب
مراجع :  رياض الصالحين 
            كتاب التوحيد 
           الرسالة التذكرة للعلماء
Bolehkah kita menggunakan penanggalan orang kafir dan menamakan hari dengan hari mereka seperti Friday untuk hari jum’at ?
Jawab:
Secara umum Rasulullah Sholallhu 'alaihi wasallam memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang kafir, beliau bersabda:
خالفوا المشركين
Selisihilah orang-orang musyrik." (HR Bukhari Muslim) 
Berdasarkan hal ini maka para shahabat menginginkan agar Islam mempunyai tahun dan penanggalan sebagai mana orang kafir mempunyai penanggalan/kalender, maka dibuatlah kalender/ penanggalan pada zaman khalifah Umar bin Khathab dengan perintah langsung darinya, dimulai dari bulan Muharam, dan tahun hijrahnya Rasul, karenanya memakai penanggalan atau kalender mereka orang kafir oleh syekh Fauzan al Fauzan dalam kitabnya al Wala’ wal Bara’ fil Islam termasuk pemberian wala’ kepada kuffar, karena pemakaian kelender tersebut seolah-olah kita memperigati hari-hari besar mereka (semacam natal dan yang lainnya) dan unsur penyerupaan terhadap mereka. Rosulullah bersabda
من تشبه بقوم فهو منهم ( رواه احمد )
Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.” (HR Ahmad) 
Begitu pula dengan nama hari-hari dalam Islam termasuk Syiar Islam jika menamakannya dengan nama yang dipakai oleh para pendahulu kita, tidak selayaknya bagi seorang muslim mengikuti mereka (orang-orang kafir) dalam menamakan hari-harinya, seperti Friday untuk hari jum’at dll. Allah ‘Azza wa Jalla  berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali kalian sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu menjadikan meraka sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang dholim.”(QS Al Maidah 51) 
Bagaimana ketika berbahasa Inggris? Dalam hal ini Umar bin Khathab berkata  
إياكم ورطانة الأعاجم
  Waspadalah kalian terhadap bahasa (asing) orang-orang ajam.”
 Dalam riwayat yang lain beliau berkata : 
لاتعلموا رطانة الأعاجم
Janganlah kalian mempelajari bahasa (asing) orang –orang ajam.” 
Beliau Umar bin Khathab tidak menyukai berbicara dengan bahasa asing kerena terdapat unsur tasyabuh dalam hal adat kebiasaan mereka (dalam hal ini berupa logat dan intonasi ucapan) dan karena kita mempunyai bahasa tersendiri, bahasa yang mulia, bahasa Al Qur'an dan ahlu Jannah (Bahasa Arab) lalu mengapa harus mencari bahasa lain? Berbicara dengan Bahasa Arab termasuk syi'ar Islam dan berpahala jika mengucapkannya, lagi pula Bahasa Arab adalah bahasa pengantar dunia ketika Islam masih berjaya, semua kaum muslimin wajib bisa berbahasa Arab karena dengan hal tersebut mereka bisa memahami kitabullah yang hukumnya wajib (padahal, apabila suatu kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan suatu hal maka hal tersebut menjadi wajib), namun setelah kekhalifahan runtuh muncullah Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dunia untuk mengaburkan pemahaman kaum muslimin terhadap kitabullah, sebagaimana perkataan salah seorang misionaris:” kalian tidak akan bisa menghancurkan orang-orang Islam sampai mereka jauh dari bahasa Arab dan Al Quran.” Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim berbicara dengan lancar dan bangga memakai bahasa selain Bahasa Arab namun tidak peduli dengan Bahasa Arab, dia harus lancar dan bangga dengan Bahasa Arab. Tapi, jika situasi menuntut kita untuk bisa berbicara dengan bahasa asing maka tidak mengapa mempelajarinya sampai mahir seperti apa yang dilakukan Rasulullah kepada salah seorang sahabat tatkala menyuruhnya untuk mempelajari bahasa ‘ajam, namun berbicara hanya sebatas keperluan (jika mampu) seperti untuk keperluan da’wah di tempat orang yang tidak memahami Bahasa Arab, sesuai dengan apa yang Ali bin Abi Thalib katakan:
خاطبوا الناس بقدر عقولهم
”Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka”. 
Jikalau kita  berda’wah dengan bahasa yang tidak dapat dipahami mustami’ maka apa faidah yang dapat kita capai dengan da’wah kita? 
Kesimpulan:
-Berbicara dengan Bahasa Arab merupakan syi'ar Islam, begitu pula menggunakan penanggalan dengan penanggalan Islam dan menamakan hari dengan hari Islam karena kita diperintahkan menyelisihi orang-orang musyrik. 
-Menggunakan penanggalan dan berbicara dengan bahasa asing hanya dalam keadaan terdesak dan sebatas keperluan saja. 
والله أعلم بالصواب
مراجع : الولاء والبراء في الإسلام ص 76 
            
Apakah menyentuh kemaluan membatalkan wudlu ?
  Jawab :
Mengenai menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudlu atau tidak terdapat beberapa pendapat.
Pendapat pertama menyatakan tidak batalnya wudlu seseorang yang menyentuh kemaluannya, berdasarkan hadits :
عن طلق بن علي قال : قال رجل : مسست ذكري أو قال : الرجل يمس ذكره في الصلاة أعليه الوضوء ؟ فقال النبي صلي الله عليه وسلم : لا, إنما هو بضعة منك.
" Dari Tholq bin 'Ali ia berkata : ' Berkata seorang lelaki : "Aku telah menyentuh kemaluanku" Atau ia berkata " Seorang lelaki menyentuh kemaluannya ketika shalat apakah ia harus mengulangi wudlunya ?" Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, ' Tidak, hanyasanya ia ( kemaluan ) itu bagian dari anggota tubuhmu !' " ( HR. Yang Lima, dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnul Madini berkata dia lebih baik ( derajatnya ) dari hadits Busroh ).
Pendapat kedua mereka menyatakan bahwasanya menyentuh kemaluan itu membatalkan wudlu, mereka berhujjah dengan hadits Busrah Binti Shafian dan Ummu Habibah :
من مس ذكره فليتوضأ
“ Barang siapa yang menyentuh dzakar ( kemaluan ) nya maka hendaknya ia berwudlu !.” 
Imam Bukhari berkata, “ Hadits ini adalah hadits yang paling shahih dari pada Talq bin ‘Ali ( yang meriwayatkan hadits tidak batalnya wudlu karena menyentuh kemaluan ).”
Banyak para Imam Hadits yang menshahihkan hadits ini dan banyak pula syahid ( saksi – hadits lain -  yang menguatkan hadits ) nya, yakni ada sekitar 17 sahabat yang meriwayatkan hadits senada termasuk diantaranya shahabat Talq bin ‘Ali ( perawi Hadits yang menerangkan tidak batalnya wudlu karena menyentuh kemaluan ).
Pendapat ketiga mereka memilih jalan memadukan kedua hadits di atas, maksudnya jika ia menyentuh kemaluan tersebut disertai sahwat maka wudlunya batal, tetapi jika ia menyentuh kemaluannya tidak disertai nafsu sahwat maka wudlunya tidak batal.
Dari ketiga pendapat di atas, maka pendapat yang dipilih adalah pendapat yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan itu membatalkan wudlu jika tidak ada pembatas / satir, berdasarkan sebuah riwayat yang  mengkhususkan hadits Busrah yang menyatakan batalnya orang yang menyentuh kemaluan :
" Apabila salah seorang diantara kalian menyentuh kemaluannya dan tidak ada hijab atau pembatas di atasnya maka wajib baginya berwudlu !" ( HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ). 

والله أعلم بالصواب 
مراجع : سبل السلام ج 1 ص 115-117
Apakah harus mengulangi wudlu bagi orang mandi wajib apabila ingin mendirikan shalat ?
Jawab :
Sesuai dengan Madzhab Hanabilah bahwa wudlu setelah mandi besar hukumnya makruh yakni jika mandinya sesuai dengan tatacara Nabi yaitu membersihkan kemaluan, berwudlu, membasahi rambut kepala lalu mengguyur badan dari sebelah kanan. Berdasarkan hadits ‘Aisyah :
كان النبي صلي الله عليه وسلم لايتوضأ بعد غسل
“ Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudlu setelah mandi.”  ( HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An Nasai )
Namun apabila terjadi hal – hal yang membatalkan wudlu seperti menyentuh kemaluan ( dalam salah satu pendapat ) , maka harus berwudlu apabila ingin mengerjakan sholat atau ibadah lain yang disyari’atkan berwudlu terlebih dahulu ( fiqih islam juz 1 hal. 383 ). 

Apakah mani itu najis atau bukan, dan bagaimana hukum memakai pakaian atau kain yang terkena mani kering ketika shalat..?
Jawab :
Sebagian para ulama berpendapat bahwa mani itu najis. Pendapat yang kuat ia adalah suci. Tetapi disunnahkan mencucinya bila basah dan mengoreknya apabila ia kering berdasarkan hadits 
عن عائشة قالت كان رسول الله صلى عليه وسلم يغسل المنى ثم يخرج إلى الصلاه فى ذالك الثوب وأنا أنظر إلى أثر الغسل فيه. متفق عليه.
 “ Rasulullah pernah mencuci mani kemudian pergi shalat dengan baju itu dan saya melihat bekas cucian tersebut.” 
Dalam riwayat Muslim :
لقد كنت أفركه من ثوب رسول الله صلى عليه وسلم فركا فيصلى فيه
 “Sungguh aku mengosokkan dari pakaian Rasulullah saw, lalu Beliau menggunakannya untuk shalat.”
Dalam lafadz Muslim yang lain :
لقد كنت أحكه يا بسا بظفرى من ثوبه
 “Sesungguhnya aku telah mengoreknya dengan kukuku dalam keadaan kering dari bajunya.”
Aisyah ra berkata : “kukorek mani itu dari kain Rasulullah saw bila kering dan kucuci bila basah”
Dari hadits-hadits di atas tidak bertentangan, karena hadits yang mengatakan mencuci dibawa pada keadaan mani yang basah sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa ia dikorek dibawa pada keadaan kering. Sedangkan mani yang mengenai kain atau pakaian dari Ibnu Abbas ia berkata  :
سئل النبى صلى الله عليه وسلم عن المنى يصيب الثوب فقال إنما هو بمنزلة المحاط والبصاق وإنما يكفيك أن تمسحه بخرقة  أو بإذخرة ( رواه الدرقطنى والبيهقى الطحاوى )
“ Nabi saw ditanya mengenai mani yang mengenai pakaian, maka Rasulullah saw menjawab,’ ia seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapusnya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.’”( HR. Ad Daruquthni, Al Baihaqi dan ath Thahawi )
Dan apabila kita shalat dengan pakaian yang terkena mani kering, maka shalat kita sah karena mani itu bukanlah najis.   
والله اعلم
مراجع : * فقه السنه الشيخ السيد السا بق
           * فقه الاسلام شرخ بلغ المرام الشيخ عبد القادر الحميد
Apakah kalimat الصلاة خير من النوم  terletak pada adzan pertama atau adzan kedua ?
Jawab : 
Di dalam permasalahan ini ada dua pendapat, pendapat yang mengatakan bahwa lafadz taswib الصلاة خير من النوم   ) itu terletak pada adzan pertama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam An Nasai :
الصلاة خير من النوم, الصلاة خير من النوم في الأذن الأول من الصبح. قال ابن رسلان : صحح هذه الرواية ابن خزيمة
 “ ash sholatu khoirum minan naum 2x  itu didalam adzan pertama pada waktu shubuh” Berkata Ibnu Ruslan : ‘ Riwayat ini dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah.’
Kemudian selain hadits ini mereka juga mengambil hadits dari Abi Mahdzurah yang artinya :
 Aku adzan untuk Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam maka pada waktu itu aku mengucapkan di dalam adzan fajar yang pertama : “ hayya ‘alash shalah 2x, hayya ‘alal falah 2x, ash shalatu khoirum minan naum 2x’.” Ibnu Hazm berkata :’ sanadnya shohih’.
 Salah satu manfaat disyari’atkannya lafadz taswib ialah untuk membangunkan orang yang tidur, sedangkan adzan subuh untuk memberitahukan masuknya waktu shubuh dan menyeru untuk shalat.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa lafadz taswib itu terletak pada adzan subuh adalah hadits :
عن أنس قال : من السنة إذا قال المؤذن في الفجر حي علي الفلاح  مرتين قال الصلاة خير من النوم مرتين
“ Dari Anas ia berkata ,’ Termasuk sunnah apabila seorang muadzin mengucapkan pada adzan fajar “ Hayya ‘Alal Falah 2x dan mengucapkan “ Ash sholatu khoirum minan naum 2x.”( HR . Ibnu Khuzaimah dan Ahmad dalam kisah tentang adzan Bilal )
Tetapi hadits ini dikhususkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasai : " Ash Sholatu khoirum minannaum 2x itu terletak pada adzan awwal dari waktu shubuh". Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad bin Ismail Ash Shon'ani, " Pada hal ini pengikatan ( taqyid ) terhadap apa yang dimutlakkan riwayat-riwayat  ( mengenai taswib)."
Mereka juga berhujjah dengan sebuah hadits dari Bilal, " Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku, ' Janganlah kamu bertaswib pada waktu shalat manapun kecuali pada shalat subuh' "( HR. Ahmad, At Tirmidzi Dan Ibnu Majah ) tetapi hadits ini dho'if.
Pendapat kedua ini dipegang pula oleh Ibnu Umar, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Az Zuhri, Malik, Ats Tsauri, Al Auza'i, Ishaq, Abu Tsaur, Asy Syafi'i dan Ahmad.
Adapun taswib selain pada adzan subuh dan adzan awal itu tidak diperbolehkan  berdasarkan sebuah riwayat dari Bilal tersebut di atas dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : 
أمرني رسول الله صلي الله عليه وسلم أن أثوب في الفجر ونهاني أن أثوب في العشاء 
" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepadaku untuk bertaswib pada adzan subuh dan melarangku pada shalat 'isya." ( HR. Ibnu Majah dari Bilal )
Kedua pendapat ini sama–sama memiliki dalil yang shahih maka untuk itu kita mengambil yang lebih banyak manfaatnya yaitu adzan pertama.
والله اعلم بالصواب
مراجع : - سبل السلام ج 1 ص120 
           - المغني ج 1 ص 454
           - فقه السنة ج1 
           - بلوغ المرام باب الاذان

Apabila seseorang masuk masjid dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, maka apakah yang harus dilakukan, berdiri atau langsung duduk..?
Jawab :
   Hendaknya ia menjawab adzan dan membaca doa. Berdiri dan menjawab adzan lebih utama karena bisa menghimpun dua shalat sunnah. Shalat sunnah tahiyatul masjid dan shalat sunnah qabliyah, sedang apabila kita langsung duduk kita tidak bisa mendapatkan keutamaan tahiyatul masjid, karena tahiyatul masjid batal atau tidak bisa dilakukan apabila seseorang duduk di dalam masjid. Kecuali hari jum’at sebagian ulama berpendapat bahwa ketika muadzin sedang adzan maka ia langsung shalat tahayatul masjid untuk kemudian mendengarkan khutbah. Karena mendengarkan khutbah itu wajib sedangkan menjawab adzan bukan wajib. Menjaga yang wajib lebih utama dari pada yang tidak wajib.
مراجع : مجموع فتاوى
Bolehkah shalat di atas sajadah ?
Jawab : 
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengembalikannya kepada apa yang pernah dilakukan dan disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibunda ‘Aisyah pernah berkata bahwa Rasulullahu shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat menggunakan  qomishoh atau pakaian dari bulu yang ada gambarnya. Setelah mengerjakan shalat beliau bersabda : “ Kembalikan qomishoh ini kepada Abu Jani bin Khudaisah lalu bawakan aku al bijanah (pakaian tebal dan kasar ) karena sesungguhnya qomisoh yang ada gambarnya tadi telah mengganggu kekhusyu'anku dalam shalat.” ( HR. Al Bukhari )
Bertitik tolak pada hadits ini Imam As Sodiani berpendapat tentang makruhnya shalat di atas sesuatu  atau memakai sesuatu yang dapat merusak kekhusyu'an shalat.
Jadi hukum shalat di atas sajadah adalah makruh demikian juga yang dikatakan oleh Al ‘Izz bin ‘Abdus salam bahwa makruh hukumnya shalat di atas sajadah yang dihiasi dengan indah.
Pendapat ini dikuatkan oleh hadits Anas ra. Ia berkata ,” ‘Aisyah memiliki sebuah kain yang bergambar, yang biasa dijadikan sebagai penutup dinding kamarnya, kemudian Rasullullah shollallhu ‘alaihi wasallam  bersabda,’ Singkirkan itu dari hadapanku karena gambarnya terus menerus melintas ketika aku sedang  shalat.’HR . Al Bukhari )
Kesimpulan :
1. Shalat di atas sajadah yang bergambar, membawa ataupun memakai sesuatu sebagai alas yang dapat merusak kekhusyu'an shalat adalah makruh.
2. Shalat yang dikerjakan di atas sajadah yang bergambar atau menghadap sesuatu yang merusak kekhusyu'an tidaklah batal alias tetap sah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memutus shalatnya dan tidak pula mengulanginya ketika beliau menghadap kepada kain yang bergambar.
3. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al ‘Izz bin ‘Abdus Salam bahwa yang paling utama  adalah mengikuti semua perbuatan dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena siapa saja yang taat kepada beliau maka akan mendapat petunjuk dan dicintai oleh Allah ‘Azza wa Jalla sebaliknya barang siapa yang tidak taat kepada beliau maka ia akan jauh dari kebenaran.
والله أعلم بالصواب
Apa hukumnya shalat di masjid yang dikelilingi kuburan  ?
Jawab : 
Rasulullah melarang keras membangun masjid di atas kuburan, Rasulullah bersabda :

ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذوا قبور أنبياءهم و صالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك ( رواه مسام )
“ Ingatlah sesungguhnya orang–orang sebelum kalian mereka menjadikan kuburan nabi–nabi mereka dan orang–orang shalih mereka sebagai masjid, ingatlah janganlah kalian menjadikan kuburan–kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang hal itu dari kalian. “ ( HR . Muslim). 
Beliau juga melarang kita shalat menghadap kuburan, beliau bersabda :
لاتجلسوا علي القبور ولا تصلوا إليها ( راه مسلم )
“ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah kalian shalat menghadapnya” ( HR . Muslim ).
Lalu bagaimana dengan shalat di masjid yang dikelilingi kuburan ? Shalat di dalam masjid ini dimakruhkan jika memang terdapat kuburan disekelilingnya, kecuali jika terdapat pemisah antara masjid dengan kuburan–kuburan tersebut seperti pagar, jalan, sungai, dll. Tapi perlu diperhatikan bahwa tembok masjid tidak termasuk dari pemisah tadi, berarti harus ada pemisah yang lain antara tembok dan kuburan– kuburan tersebut sebagaimana di atas. Lalu bagaimana dengan kuburan Rasulullah ?, untuk menjawabnya dilihat dari beberapa segi : 
1. Ketika Rasulullah Saw wafat beliau dikuburkan di rumah ummul mukminin ‘Aisyah ra. Bukannya di masjid Nabawi, kemudian ketika masjid mengalami perluasan maka kuburan Rasulullah mau tidak mau harus masuk ke dalam wilayah masjid tersebut dan tidak mungkin memindahkan makam Rasulullah ketempat lain karena para nabi dikuburkan di tempat di mana mereka meninggal.
2. Ketika kuburan Nabi masuk ke area perluasan masjid maka disekeliling makam Nabi dibangun tiga tembok yang tinggi dan tebal untuk memisahkan antara daerah makam Nabi dan daerah masjid, juga untuk menghindari hal–hal yang tidak diinginkan seperti istighatsah kepada Nabi dll.
3. Disamping dikelilingi tembok–tembok, ternyata kaum muslimin yang shalat di masjid Nabawi tidak menghadap kekuburan Nabi,  karena kuburan Nabi tidak terletak searah dengan kiblat.
4. Adanya makam Rasulullah di dalam meajid dengan  adanya  kuburan–kuburan  di dalam masjid hari ini, niatnya sudah berbeda kalau makam Nabi sebagaimana tersebut di atas sedangkan makam–makam yang kini berada di dalam masjid tujuannya justru untuk  mengkultuskan orang yang berada di dalam kuburan tersebut, mereka beristigasah dan bertaqorrub kepada mereka sehingga tidak bisa disamakan antara kuburan Nabi dengan yang lainnya. 
 Inilah diantara alasan –alasan yang berkaitan dengan adanya makam Nabi di dalam masjid Nabawi.
Kesimpulan : Shalat di dalam masjid yang ada kuburan di dalamnya itu tidak boleh, dan dimakruhkan jika kuburan tersebut berada di sekelilingnya ( bukan di dalamnya ) kecuali jika ada yang memisahkan antara masjid dengan kuburan–kuburan tersebut, seperti sungai , jalan , pagar dll.
والله علم بالصواب
مراجع : فتاوى اللجنة الدائمة ج 9 ص 127
           مناظرة 
Apa hukum shalat di atas kamar mandi ?
Jawab : 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  melarang umatnya shalat di atas kamar mandi beliau bersabda :
الأرض كلها مسجد إلا الحمام والمقبرة ( رواه أبو داود وابن ماجه عن أبي سعيد الخدري)
“ Bumi itu semuanya masjid kecuali kamar mandi dan kuburan.” ( HR . Abu Dawud & Ibnu Majah dari Abu Sa’id al Khudri )
Beliau juga bersabda :
سبع مواطن لاتجوز فيها الصلاة : ظهر بيت الله والمقبرة والمزبلة والمجزرة والحمام وعطن الإبل و محجة الطريق ( رواه الترمذي وابن ماجة )
“ Tujuh tempat yang tidak boleh shalat di dalamnya : di atas ka’bah, kuburan , tempat sampah , tempat penyembelihan, kamar mandi, kandang unta dan tengah jalan” ( HR. At Tirmidzi & Ibnu Majah ).
Adapun mengenai shalat diatas kamar mandi hukumnya sah, karena sudah ada pemisah antara kamar mandi dengan atasnya, tapi alangkah baiknya jika hal tersebut dihindari, jika masih terdapat tempat yang suci lagi bersih buat apa shalat ditempat seperti ini ? .Wallahu a’lam bish showab.
مرجع : عون المعبود ج 2 ص 109
          سنن الترمذي جة 1 ص 368 
          سنن ابن ماجه ج 1 ص 42
Apa hukum melafazdkan niat dalam shalat ?
Jawab:
Ibnu Qoyyim Al-Jauziah menjelaskan dalam kitab :  ighatsatul lahfan “ bahwa arti niat adalah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu.
Niat merupakan sumber dari benarnya suatu amalan, karena jika niat benar amalpun akan benar pula, sebaliknya jika niatnya rusak amalpun  akan ikut rusak. Hukum niat adalah wajib untuk setiap amalan, berdasarkan hadist :
 “  Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang itu akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR.Bukhari-Muslim). 
Karena niat pulalah Allah menetapkan suatu kebaikan bagi seorang hamba meski ia belum melakukannya.
Sebelum beramal seorang hamba harus berniat, karena dengan niat akan diketahui apakah amalan yang dikerjakan itu dalam rangka ibadah kepada Allah atau bukan. Sebagai contoh misalnya duduk di masjid, hal ini akan menjadi amal ibadah jika diniatkan menunggu waktu tibanya shalat, i’tikaf, berzikir kepada Allah dan menahan diri tidak bermaksiat kepada Allah, berbeda jika ia berniat untuk istirahat.
      Lantas perlukah niat itu dilafadkan dengan lisan….?
Sebagian ulama Syafi’iyah (pengikut madzhab Syafi’i) dan Hanbali berpendapat bahwa melafadkan niat sunnah hukumnya, karena bisa membantu supaya orang yang melaksanakan shalat pikirannya lebih terfokus pada shalatnya. Mereka melandaskan perkataannya pada perkataan Imam Syafi’i yang menyebutkan  bahwa shalat itu tidak sebagaimana zakat, tidak boleh seseorang memulai shalat kecuali dengan dzikir. Mereka menafsirkan niat di sini dengan niat yang dilafadkan, sehingga shalat tidak sah tanpa niat yang dilafadkan. Namun dalil yang mereka pergunakan tersebut dibantah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya :  “ zaadul ma’ad “ bahwa maksud dari perkataan Imam Syafi’i bukanlah melafadkan niat dalam shalat, yang dimaksudkan oleh beliau adalah takbiratul ihram.
Dengan demikian pendapat para pengikut Imam Syafi’i tidak bisa diterima karena dua hal. Pertama karena kerancuan pemahaman sebagai pengikut Imam Syafi’i. kedua karena pendapat ini tidak berhujjah dengan  satu dalilpun. Tidak ada satupun Hadits yang menyebutkan bahwa shalat itu dimulai dengan melafadkan niat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam fatawa kubra berkata bahwa seseorang yang melafadkan niat menunjukkan kerusakan dalam berpikir. Karena jika ada seseorang yang melafakan niat dengan mengatakan “ aku berniat akan melakukan pekerjaan ini ”. itu sama saja ketika seseorang mengatakan ketika hendak makan “ aku berniat  hendak memakan makanan ini supaya kenyang “. Tentu hal ini menunjukkan ketidak beresan akalnya.
Shalat itu dimulai dengan takbiratul ihram. Rasulullah SAW mengajarkan tata cara shalat kepada salah seorang sahabatnya. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : ‘Ketika Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam masuk masjid, lantas ada seseorang masuk pula ke masjid dan mengerjakan shalat, kemudian ia datang menemui Rasulullah shalallalhu ‘alaihi wasallam  dan mengucapkan salam, beliau menjawab dan bersabda : “ Kembalilah untuk mengerjakan shalat, karena sejatinya engkau belum mengerjakan shalat !” kemudian orang tersebut mengulangi shalatnya hingga tiga kali. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih saja menyuruhnya untuk shalat, maka orang tersebut berkata : ‘ Demi Dzat yang telah mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak bisa melakukan shalat dengan baik dari yang demikian itu. Ajarilah saya ! .‘ Maka Rasulullah bersabda : “ jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka bertakbirlah kemudian baca surat Al-Qur’an yang mudah bagi kamu. Kemudian ruku’lah kamu hingga kamu tenang dalam keadaaan ruku’ kemudian berdirilah kamu hingga kamu tenang dalam keadaan berdiri. Kemudian sujudlah kamu hingga kamu tenang dalam keadaan sujud. Kemudian bangkitlah hingga tenang dalam keadaan duduk, perbuatlah hal ini di dalam semua shalatmu,” (Mutafaqun ‘alaih)
Hadits ini dengan jelas menerangkan  kepada kita tata cara shalat yang diajarkan Rasulullah SAW yang dimulai dengan takbiratul ihram, bukan dengan membaca niat.
Dalil lain yang menyebutkan bahwa beliau memulai shalat dengan takbir adalah : Dari Aisyah ra berkata : ‘Rasulullah saw memulai shalat dengan takbir.’ (HR.Muslim)
      Alhasil, tidak ada riwayat dari Rasululah SAW baik dengan sanad yang sahih maupun dhaif  juga contoh dari para sahabat dan tabi’in tentang melafadkan niat di dalam shalat tidak bisa disebut sunnah  Sebaiknya dalam hal ini kita mengikuti pendapat jumhur/mayoritas ulama yang menyatakan bahwa niat tidak perlu dilafadkan, tapi cukup dikuatkan dalam hati dan kita melaksanakan shalat dengan khusyuk. 
والله اعلم بالصواب 
Bagaimana cara meletakkan tangan setelah takbiratul ihram ?
Jawab : 
Sebelumnya kita perlu mengetahui masalah – masalah berikut ini :
1. Batasan untuk menaruh telapak tangan kanan di atas tangan kiri yang diperbolehkan.
2. Tempat meletakkan kedua tangan.
Berdasarkan hadits Wail bin Hujrin :
لأنظرن إلي رسول الله صلي الله عليه وسلم كيف يصلي قال : فنظرت إليه قام فكبر فرفع يديه حتي حادتا أذنيه ثم وضع يديه اليسري والرسغ و الساعد
“ Sesungguhnya saya telah melihat Rasulullah shAllallahu ‘alaihi wasallam bagaimana ia shalat. Dia berkata, ‘ Saya telah melihat Rasululah berdiri dan beliau bertakbir dengan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya kemudian meletakkan tangannya di atas punggung yang kiri dan pergelangan tangan kiri dan lengan kirinya.’” ( HR. Abu Dawud Dan An Nasai )
Dari hadits di atas dapat disimpulkan batas meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ialah punggung pergelangan dan lengan tangan kiri, dan tidak boleh melebihi dari siku dengan menggenggam atau juga tidak diperbolehkan untuk meletakkan dan memadukan keduanya ( jari kelingking dan ibu jari digenggamkan sementara jari- jari yang lainnya diletakkan). Kemudian dalam hadits yang lain diterangkan :
عن وائل بن حجر قال : صليت مع رسول الله صلي الله عليه وسلم وضع يده اليمني علي يده اليسري علي صدره
“ Dari Wail bin Hujrin ia berkata,’ Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau berdiri meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kirinya di atas dada.’” ( HR. Ibnu Khuzaimah)
Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan bahwa peletakkan tangan setelah takbir yang lebih rajih adalah di atas dada.
والله أعلم بالصواب
مراجع : صفة صلاة النبي صلي الله عليه وسلم للشيخ محمد نصير الدين الألباني
Bagaimana hukum meletakkan tangan diatas pusar setelah ruku’  bid’ah atau bukan….?
Jawab :
Meletakkan tangan di atas dada setelah ruku’ hukumnya menurut sebagian ulama adalah sunnah. Berdasarkan hadits dari Sahl bin Saad ra ia berkata :
كان النا س يؤمرون أن يضع الرجل يده اليمني على زرا عه اليسري فى الصلاة ( روه البخاري وأحمد ومالك فى الموطأ)
 Bahwa orang-orang disuruh agar laki-laki meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sewaktu shalat.”(HR. Al Bukhari, Ahmad dan Malik )
Berkata Abu Hazim “ tiada lain yang saya ketahui hanyalah bahwa hal tersebut diterimanya dari Nabi saw sebagai sumbernya. Hadits ini menunjukkan bahwa tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri baik sebelum ruku' maupun sesudahnya. Dan inilah yang ditunjukkan oleh sunnah Nabi, berbeda dengan Syaikh Nasirudin Al-Albani yang menganggapnya bid’ah (bisa dibuka dalam kitab sifat shalat Nabi saw karangan beliau mengenai hujahnya). Namun beliau tidak menganggap ulama Saudi yang berpendapat (seperti Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, Ibnu Utsaimin, Syaikh Al jibrin dan lain-lain) sebagai mubtadi'. Karena hal ini merupakan amalan yang bersifat ijtahidiyah sehingga tidak boleh sembarang memvonis selama masih terbuka pintu ijtihad.
Dibedakan dari ketentuan di atas adalah sewaktu ruku’ dan sujud dan duduk antara dua sujud karena pada kondisi tersebut Nabi menerangkan kekhususannya.
Kemudian hukum meletakkan tangan di atas pusar terdapat sebuah hadits mauquf yang sampai kepada Ali bin Abi Thalib dan dari seorang tabi’in yaitu Said bin Jubair (HR. Abu Daud) dan pengarang kitab “ Tuntunan Sholat menurut riwayat Hadits “ hal ini diperbolehkan ( Ustadz Muhammad Ihya Ulumuddin ). 
والله اعلم
· فقه الاسلام شرح بلوغ المرام
· فقه السنة السيد السا بق 
· كيف تصلى؟ محمد احياء علوم الدين                 
Manakah yang lebih afdhal antara membaca  basmallah dengan  sirr atau jahr  sebelum membaca ummul kitab ( Al Fatihah  ) dalam shalat ?
Jawab :
Dalam hal ini para ulama salaf berselisih pendapat. Masing– masing dari mereka memiliki dalil yang kuat.
a. Kelompok pertama mereka berpendapat bahwasanya basmallah lebih afdhal dibaca dengan sirr, berdasarkan dalil dari hadits berikut :
عن أنس قال صليت مع رسول الله صلي اللهخ عليه وسلم وأبي بكر و عمر و عثمان رضي الله عنهم فلم أسمع أحدا منهم يقرأ بسم الله الرحمن الرحيم وفي رواية وكانوا يستفتحون بالحمدلله رب العالمين لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم في أول قراءة ولا في أخره
“ Dari Anas ra ia berkata, ‘ Saya shalat bersama Rasulullah shallalhu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra. Maka saya belum pernah mendengar salah satu dari mereka membaca basmallah.’ Dalam riwayat yang lain  mereka mengawali ( shalatnya) dengan alhamdu lillahi rabbil ‘alamin, dan tidak menyebut basmallah di awal maupun di akhir bacaan.’ “ ( HR. Muslim )
Inilah pendapat yang dipegang oleh para khulafaur rasyidin ( Abu Bakar, Umar, Utsman , dan Ali bin Abi Thalib ), Imam Ahmad, dan Abu Hanifah.                     
b. Adapun kelompok yang kedua, mereka berpendapat bahwasanya menjahrkan bismillah itu lebih afdhal, berdasarka dalil:
عن جعفر بن محمد قال اجتمع أل محمد  صلي الله عليه وسلم جار الجهر بسم الله الرحمن الرحيم
“Dari Ja’far Bin Muhammad Sesungguhnya ia berkata: ‘Sesungguhnya keluarga Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam telah sepakat atas jahrnya Bismillahirrohmaanirrohim.”
Dan Imam Ahmad berpendapat menurut hadits yang diriwayatkan oleh Umar yang artinya “bahwasanya Rosulullah Sollallahu ‘alaihi wassallam menyatakan baik kalau ada seseorang yang membaca do'a iftitah setelah itu membaca ta'awudz kemudian membaca Al Fatihah dengan menjahrkan basmalah.
Kesimpulan:
Jadi karena kedua pendapat memiliki dalil-dalil yang kuat maka keduanya afdhol baik sirr maupun jahr.
والله أعلم بالصواب
مراجع : صحيح مسلم 
           تفسير الأيات الأحكام ص52
          سنن الصغير ج 1 ص 131
          زاد المعاد
Apakah kita membaca Al Fatihah ketika imam membacanya dengan jahr ?
Jawab :  
Dalam permasalahan ini para ulama masih berselisih pendapat antara membaca  atau diam, masing–masing memiliki dalil yang sama kuat.
a. Madzhab Imam Syafi’i dan Madzhab Hambali mengharuskan ma’mum membaca Al Fatihah  di belakang imam baik dalam shalat sirr ( tidak mengeraskan bacaan seperti shalat dzuhur dan ashar ) maupun dalam shalat jahr ( mengeraskan bacaan seperti shalat maghrib, ‘isya’, dan shubuh ), berdasarkan hadits : 
لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
 “ Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca fatihatul kitab
 ( Al Fatihah ). “
Nash tersebut berlaku umum jadi imam dan ma’mum termasuk di dalamnya, baik shalat sirr maupun jahr maka barangsiapa yang tidak membaca Al Fatihah shalatnya tidak sah.
b.  Madzhab Maliki berpendapat apabila shalat sirr maka ma’mum harus membaca Al Fatihah berdasarkan dalil di atas. Namun Imam Malik melarang membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahr berdasarkan firman Allah Ta’ala :          
واذا قرئ القران فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون
“ Dan apabila Al Qur'an dibacakan maka dengarkanlah baik- baik dan perhatikanlah ( diam ) dengan tenang agar kalian mendapat rahmat. “( QS. Al A'raf : 204 )
Dan apabila ma’mum meninggalkan bacaan Al Fatihah dalam shalat sirr, maka ia telah berlaku kurang baik tapi shalatnya tidak rusak.
c.  Madzhab Hanafi melarang pembacaan Al Fatihah di belakang imam secara mutlak, untuk mematuhi firman Allah di atas, juga berdasarkan hadits : 
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
 “ Barang siapa yang shalat di belakang imam maka bacaan imam itu adalah bacaannya juga. “ ( HR. Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah dari Abi Hurairah ).
Juga berdasarkan dalil bahwa beliau bersabda :
إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا كبر فكبروا وإذا قرأ فانصتوا
“ Sesungguhnya imam itu diadakan untuk diikuti maka bila ia bertakbir bertakbirlah kalian, dan kalau ia membaca maka dengarkanlah dengan baik..!” ( HR . Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasai, Ad Darimi, Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah)
Lalu bagaimana kita menyikapi hal ini ?. Setelah melihat dalil – dalil yang sama kuat, maka sikap yang kita ambil adalah memberikan keleluasaan pada masing–masing pendapat karena permasalahan ini ikhtilaf  (berbeda-beda pendapat )  sesuai qoidah ushul fiqih :
الخروج من الخلاف مستحب
 “ Keluar dari yang diperselisihkan itu dicintai (  disunnahkan ) “
والله أعلم بالصواب
مراجع : روائع البيان تفسير ايات الاحكام 
            كتاب الفقه علي المذاهب الاربعة
Manakah yang lebih afdhol antara duduk iftirasy atau duduk tawarruk di dalam  shalat yang berjumlah dua raka'at?
Jawab : 
Sebelum kita menjawab soal ini terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah iftirasy dan tawarruk itu ?.
Iftirasy adalah duduk di atas telapak kaki kiri sedangkan kaki kanan ditegakkan. Sedangkan tawarruk adalah meletakkan pantat di atas lantai sedangkan kaki kiri keluar di bawah kaki kanan yang ditegakkan.
Di dalam kitab fiqih sunnah juz dua para jumhur ulama berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal itu dengan duduk iftirasy, sedangkan duduk tasyahud akhir itu dengan cara duduk tawarruk kecuali madzhab Imam Ahmad.
Sedangkan yang menjadi masalah ialah apakah tasyahud di dalam  shalat dua raka'at itu tasyahud awal atau tasyahud akhir. Namun dalam satu riwayat dikatakan apabila shalat itu dua raka'at seperti shalat shubuh beliau shollallahu ‘alaihi wasallam  duduk iftirasy, yaitu duduk di atas kaki kiri sedangkan kaki kanan  bertumpu dengan ujung jari-jarinya dilipat ke bawah sebagaimana beliau duduk pada tasyahhud awwal. ( HR . An Nasai ) bahkan dalam kitab “ Akhthaul mushallin “ halaman 160 disebutkan dari kesalahan orang yang shalat ialah duduk tawarruk dalam shalat yang jumlah raka'atnya dua seperti shalat fajar, nawafil, dan lain–lain.
والله أعلم بالصواب
مراجع : - أخطأ المصلين ص 160 
           - كتاب فقه السنة ج 2 
Lebih afdhal mana langsung berdiri atau duduk istirahah terlebih dahulu ketika bangkit dari sujud ?
Jawab :
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa duduk istirahah lebih afdhal daripada langsung berdiri ketika bangkit dari sujud ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i berdasarkan hadits : 
عن مالك بن حويرث رضي الله عنه أنه رأي النبي صلي الله عليه وسلم يصلي فإذا كان في وتر من صلاته لم ينهض  حتي يستوي قاعدا.
“ Dari Malik bin Huwairits r.a. bahwasanya ia melihat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam  sedang shalat, maka apabila dalam raka'at ganjil dari shalatnya beliau tidak bangkit sehingga benar – benar duduk .“ ( HR . Al Bukhari )
Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa duduk istirahah hanya diperuntukkan bagi orang yang kesulitan berdiri langsung dengan kata lain berdiri langsung itu lebih afdhal daripada duduk istirahah, pendapat ini  adalah Madzhab Hanabilah, Hanafiyyah, Imam Malik, dan Imam Ahmad  berdasarkan dalil :
كان إذا رفع رأسه من السجدتين استوى قائما
“ Apabila Rasulullah shallallahu  ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya ( bangkit ) dari dua sujud, beliau langsung berdiri.” ( HR. Al Bazzar kecuali Imam Nawawi mendha’ifkannya  )
Kesimpulan dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa duduk istirohah itu lebih afdhol daripada berdiri langsung kerena duduk istirohah termasuk ketuma’ninahan dalam shalat sedang pendapat yang kedua bersandar pada hadits yang dilemahkan oleh imam Nawawi.
والله أعلم بالصواب 
مراجع : - المغني ج 1 
           - سبل السلام ج 1 ص 184 
Manakah yang lebih afdhol antara merapatkan tumit atau merenggangkannya ketika sujud ?
Jawab : 
Merapatkan tumit atau tidak ketika sujud, shalatnya tetap sah namun merapatkan tumit itu lebih afdhol berdasarkan hadits dari ‘Aisyah : 
 “ Waktu itu beliau bersamaku di tempat tidur lalu aku mendapati beliau sedang sujud, kedua tumitnya dalam keadaan rapat dan ujung- ujung kakinya menghadap kiblat.” ( HR. Hakim ).
Hadits ini menjadi tambahan hadits dari Ibnu Abbas:
“ Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menyuruhku sujud pada tujuh anggota badan dan supaya seseorang tidak merapatkan rambut dan kakinya ketika sujud yakni : kening, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki .“
Walaupun hadits ‘Aisyah masih diperselisihkan keshahihannya oleh muhaditstsin, namun tambahan hadits ini  tidak bertentangan dengan hadits lain sehingga bisa dipadukan dan diselaraskan dengan hadits lain.
 Hal ini juga diperkuat dengan hadits : 
يرص عقبيه
Beliau merapatkan kedua tumitnya. " ( HR. At Thohawi)
Dengan demikian merapatkan tumit ketika sujud adalah sunnah shalat dan bagi yang tidak merapatkan tumit maka dia telah meninggalkan sunnah namun shalatnya tetap sah jika melakukannya dengan benar.
والله أعلم بالصواب
مراجع : صفة صلاة النبي  ص 174-175 
Manakah yang lebih afdhal mendahulukan kedua tangan atau kedua lutut ketika hendak sujud?
Jawab: 
Dalam menjawab persoalan ini perlu kita ketahui hadits Rasul berikut ini:
عن وائل بن حجر قال رأيت النبي صلي الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه
“Dari Wail bin Hujrin ia berkata,’ Saya melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam apabila sujud mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan dan apabila bangun daripada sujud beliau mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya .” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi) 
Dan juga hadits yang berbunyi :
عن عبد الجبار بن وائل عن أبيه أن النبي صلي الله عليه وسلم فذكر حديث الصلاة قال : فلما سجد وقعت ركبتاه إلي الأرض قبل أن يقعا كفاه
“Dari Abdul Jabbar bin Wail dari ayahnya bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam –maka dia menyebutkan hadits tentang shalat- kemudian dia berkata maka tatkala beliau sujud kedua lututnya jatuh ke atas tanah terlebih dahulu sebelum kedua telapak tangannya. (HR. Abu Daud).
Inti hadits Rosulullah Sollallohu alaihi wasallam diatas adalah bahwasanya meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan adalah lebih afdhol karena hadits diatas adalah hadits fi’li (pekerjaan nabi Sollallohu alaihi wasallam) sedangkan pekerjaan Nabi itu lebih baik dan lebih afdhal untuk diikuti selama tidak ada pengkhususan untuknya. Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi mendahulukan tangan ketika hendak sujud, hadits tersebut adalah hadits maqlub (terbalik), bunyi hadits tersebut adalah :
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير وليضع يديه قبل ركبتيه
 “Dari Abu Hurairah bahwasanya ia berkata,’ Rasulullah Sollallahu 'alaihi wasallam bersabda "Apabila sujud salah seorang diantara kalian maka janganlah ia menderum sebagaimana menderumnya unta hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR Abu Daud)
Sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dalam kitabnya “Sifat Shalat Nabi Sollallahu 'alaihi wasallam” mendahulukan kedua lutut itu lebih baik atau afdhal
والله أعلم باالصواب
مراجع
سنن أبي داود ج1 ص 203
سنن الترمذي ج 1 ص 301
صفة صلاة النبي صلي الله عليه وسلم                                                                      
Lebih afdhal mana dari mengerakkan telunjuk ketika isyarah tasyahud atau tidak dan kapan mengangkat telunjuk…..?
Jawab :
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui beberapa hadits berikut :
عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا قعد فى التشهد وضع يده اليسرى على ركبته اليسرىووضع يده اليمني على ركبته اليمني وعقد ثلاثة وخمسين وأشارباالسبا بة  رواه مسلم -
 “Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Rasulullah saw apabila beliau duduk ketika tasyahud, beliau meletakkan tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangannya yang kanan di atas lutut yang kanan dan mengikat 5 3 dan berisyarat dengan telunjuknya. (HR.Muslim)
عن وائل بن حجر أنه قال فى صفة صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قعد فا فترش رجله اليسري ووضع كفه اليسري على فخذه وركبته اليسري وجعل حد مرفقه الأيمان على فخذه اليمني, ثم قبض سنتين من أصا بعه وحلق حلقة, ثم رفع أصبعه فرأيته يحركها يدعو بها
( رواه أحمد والنساء )
 “ Dari Wail bin Hajr ra, bahwasanya ia berkata dalam mensifati shalat Rasulullah saw, kemudian beliau duduk dan membentangkan kakinya yang kiri dan meletakkan telapak tangannya yang kiri di atas paha dan lututnya yang kiri dan menjadikan batasan ( tempat ) sikunya yang kanan di atas paha yang kanan, kemudian menggenggam dua jarinya ( kelingking dan jari manis ) dan melingkarkannya,